Menurut arti bahasa, Galungan itu berarti peperangan. Dalam bahasa Sunda terdapat kata Galungan yang berarti berperang.
Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Tidak berarti bahwa Gumi/ Jagad ini lahir pada hari Budha Keliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan maha suksemaning idepnya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya. Pada hari itulah umat bersyukur atas karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini.
Dalam rangkaian peringatan Galungan, sejak Redite Pahing Dungulan kita didatangi oleh Kala-tiganing Galungan. Sang Kala Tiga ialah Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat. Disebutkan dalam pustaka-pustaka itu: mereka adalah simbul angkara (keletehan). Jadi dalam hal ini umat berperang, bukanlah melawan musuh berbentuk fisik, tetapi kala keletehan dan adharma. Berjuang, berperang antara dharma untuk mengalahkan adharma. Menilik nama-nama itu, dapatlah kiranya diartikan sebagai berikut:
1. Sang Bhuta Galungan.
Galungan berarti berperang/ bertempur. Berdasarkan ini, boleh kita artikan bahwa pada hari Redite Pahing Dungulan kita baru kedatangan bhuta (kala) yang menyerang (kita baru sekedar diserang).
2. Sang Bhuta Dungulan.
Ia mengunjungi kita pada hari Soma Pon Dungulan keesokan harinya. Kata Dungulan berarti menundukkan/ mengalahkan.
3. Sang Bhuta Amangkurat
Hari Anggara Wage Dungulan kita dijelang oleh Sang Bhuta Amangkurat. Amangkurat sama dengan menguasai dunia. Dimaksudkan menguasai dunia besar (Bhuwana Agung), dan dunia kecil ialah badan kita sendiri (Bhuwana Alit).
Pendeknya, mula-mula kita diserang, kemudian ditundukkan, dan akhirnya dikuasai. Ini yang akan terjadi, keletehan benar-benar akan menguasai kita, bila kita pasif saja kepada serangan-serangan itu. Dalam hubungan inilah Sundari-Gama mengajarkan agar pada hari-hari ini umat den prayitna anjekung jnana nirmala, lamakane den kasurupan. Hendaklah umat meneguhkan hati agar jangan sampai terpengaruh oleh bhuta-bhuta (keletehan-keletehan) hati tersebut. Inilah hakikat Abhya-Kala (mabiakala) dan metetebasan yang dilakukan pada hari Penampahan itu.
Pada hari Saniscara Keliwon Wuku Kuningan (hari raya atau Tumpek Kuningan), Ida Sanghyang Widhi para Dewa dan Pitara-pitara turun lagi ke dunia untuk melimpahkan karuniaNya berupa kebutuhan pokok tersebut.
Pada hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua.
Demikian secara singkat keterangan-keterangan dalam merayakan hari Raya Galungan dan Kuningan dalam pelaksanaan dari segi batin. Adapun kesimpulan dari makna Hari Raya Galungan dan Kuningan:
- Dalam menyambut dan merayakan hari-hari raya itu, bergembiralah atas anugrah Hyang Widhi dalam batas-batas kesusilaan agama dan keprihatinan bangsa.
- Terangkan hati, agar menjadi Çura, Dira dan Deraka (berani, kokoh dan kuat), dalam menghadapi hidup di dunia.
- Hemat dan sederhanalah dalam mempergunakan biaya.
- Terakhir dan bahkan yang terpenting ialah mohon anugrah Hyang Widhi dengan ketulusan hati.
Babad Bali
0 komentar:
Posting Komentar